SEJARAH
PERKEMBANGAN
DAN SISTEM
PENDIDIKAN PESANTREN
DI INDONESIA
Oleh:
Yasir
Ismail, S.Pd
BAB I PENDAHULUAN
Pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan lembaga pendidikan tertua dan
ada seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri di Indonesia.
Pesantren terus hidup,
tumbuh dan berkembang dari masa ke masa, mengikuti perkembangan sejarah bangsa Indonesia
yang selalu mengalami perubahan dalam berbagai bidang.
Kehadiran pesantren
sebagai lembaga pendidikan, merupakan modal besar bagi bangsa ini, karena peran
pesantren yang tidak bisa dipungkiri memberikan andil besar dalam setiap fase
sejarah bangsa ini.
Namun, walaupun
demikian, sejarah kehadiran pesantren di Indonesia, bila dilihat secara kajian
ilmiah, tidaklah dihasilkan satu kesepakatan tentang konsep sejarah munculnya
pesantren di Indonesia. Sehingga memunculkan berbagai teori tentang asal muasal
pesantren di Indonesia.
Seiring dengan
perubahan zaman, maka pesantrenpun tidak luput dari perubahan dan perkembangan,
baik dalam hal kurikulum, sistem pengajaran, kelembagaan dan berbagai komponen
lainnya.
Perubahan-perubahan
diatas melahirkan pola serta model pesantren yang sangat beragam dan berbeda
sesuai dengan keberagaman dan perbedaan kultur masyarakat tempat pesantren
tersebut berada. Seperti nama pesantren, diberbagai daerah memiliki nama yang
berbeda, di Jawa Barat disebut ‘pesantren’, di Madura disebut ‘penyantren’,
di Aceh disebut ‘rangkah’ atau ‘meunasah’ serta di Sumatera,
pesantren disebut dengan ‘surau’.
Dalam hal kurikulum
dan sistem pengajaran, pesantren mengalami transformasi yang luar biasa, dari
sebatas adanya kyai dan beberapa orang santri yang mempelajari beberapa ilmu
agama Islam, dengan kurikulum dan sistem pengajaraan tradisonal sampai kepada pesantren
yang memiliki sekolah-sekolah formal, bahkan sampai tingkat perguruan tinggi
dengan kurikulum dan sistem pengajaran yang sudah tersusun dengan sistematis.
Hal-hal diatas menarik
perhatian penulis untuk mengkaji lebih jauh tentang sejarah perkembangan
pesantren di Indonesia beserta sistem pengajarannya.
Untuk memfokuskan
penulisan makalah ini, penulis merumuskan permasalahan umum sebagai berikut:
Bagaimana sejarah
perkembangan pesantren dan sistem pedidikannya di Indonesia
Sedangkan secara
khusus, permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian pesantren?
2. Bagaimana sejarah perkembangan
pesantren di Indonesia?
3. Apa saja unsur/unsur atau elemen
pesantren di Indonesia?
4. Bagaimana kategorisasi/pembagian
pesantren ?
5. Bagaimana sistem pendidikan pesantren
di Indonesia?
Secara umum tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan pesantren
dan sistem pedidikannya di Indonesia
Sedangkan secara
khusus, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengertian pesantren?
2. Sejarah perkembangan pesantren di
Indonesia?
3. Unsur atau elemen pesantren di
Indonesia?
4. Kategorisasi/pembagian pesantren ?
5. Sistem pendidikan pesantren di
Indonesia?
Sistematika penulisan
makalah ini terdiri dari 3 bab, yaitu bab pendahuluan, berisi tentang latar
belakang penulisan, rumusan masalah dan sistematika penulisan; bab pembahasan, berisi tentang pengertian
pesantren, sejarah perekembangan pesantren, elemen/unsur pesantren,
kategorisasi/ pembagian pesantren dan sistem pendidikan pesantren; dan bab
penutup
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian pesantren
baik secara terminologis maupun etimilogis dimaknai berbeda oleh para ahli. Di
dalam situs id.wikipedia.org, kata pesantren dijelaskan sebagai berikut:
1. Istilah
pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri"
berarti murid dalam Bahasa
Jawa.
4. Pendapat
lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat
santri. Kata ‘santri’ berasal dari kata Cantrik
(bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu
mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam
sistem asrama yang disebut Pawiyatan.
6. Sedang C.
C Berg
berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.
7. Terkadang
juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku
kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan manusia baik-baik.
Sedangkan Nurkholis Madjid (Imron,
D.Zawawi, 2010 : 19) mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sanskerta sastri, artinya tulis
baca, sedangkan di Jawa kata ‘sastri’ berubah menjadi ‘santri’,
yaitu anak yang mempelajari kalimat suci dan indah, yaitu Al Qur an dan ajaran
nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, secara istilah,
pesantren dimaknai dengan beragam, seperti diuraikan berikut ini (Suismanto,
2004:49):
1. Menurut KH. Muchtar Rasyidi, pondok
pesantren adalah:
a. Lembaga pembina character building
bangsa.
b. Panti pendidikan kepribadian bangsa
c. Tempat pemupukan jiwa gotong royong
d. Arena pendidikan self help
e. Kancah penggemblengan jiwa patriotisme
2. Menurut Mu’thi Ali, pondok pesantren
adalah suatu lembaga pendidikan yang sistem
pendidikan dan pengajarannya mempunyai ciri-ciri tertentu.
3. Menurut KH. Imam Zarkasyi, definisi
yang umum pondok pesantren adalah terwujudnya hal-hal:
a. Lembaga pendidikan Islam dengan sistem
asrama
b. Kyai sebagai sentral figurnya
c. Masjid sebagai titik pusat yang
menjiwai
Sedangkan Abdurrahman Wahid
(Nawawi, 2006:1) memaknai pesantren secara teknis, a place where santri
(student) live.
Adapun Abdurrahman Mas’oed
(Nawawi, 2006:1) menulis, the word pesantren stems from “santri” which means
one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place
where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire
knowledge.
M. Arifin (Qomar, TT:2),
menjelaskan bahwa pondok pesantren berarti suatu lembaga pendidikan agama Islam
yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks)
dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau
madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang
kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam
segala hal
Dari pengertian-pengertian
diatas, baik secara termonologis maupun etimologis, kita bisa simpulkan betapa
beragamnya pengertian pesantren. Namun secara sederhana dapat dipahami bahwa
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki kekhasan dalam
berbagai komponen yang ada di dalamnya.
Berbicara tentang
sejarah pesantren, maka kita akan dihadapkan pada berbagai teori dan pendapat
yang berbeda dikalangan para ahli.
Secara umum disebutkan
bahwa asal mula konsep pesantren bermuara kepada Rasululloh SAW. Karena
berbicara pesantren, maka tidak akan lepas dari konsep pendidikan Islam, dan
pondasi pendidikan Islam telah digariskan oleh Rasululloh SAW.
Ketika beliau datang
ke Madinah, yang pertama kali ia bangun adalah masjid. Di masjid tersebut,
beliau membangun masyarakat Islam, mengerjakan shalat, berceramah dan
mengajarkan orang-orang muslim tentang agamanya.
Seperti itulah
pesantren di Indonesia pertama kali dibangun, didirikan masjid ditempat yang
didiami orang islam, menjadi sentral masyarakat Islam dan pusat kegiatan
pendidikan Islam, seperti masjid Demak di Demak, masjid Ampel di Surabaya dan
masjid Giri di Gresik.
Perkembangan masjid
beserta berbagai kegiatan dan komponennya (seperti pengajian, kyai dan santri)
yang terus berkembang, melahirkan apa yang kemudian disebut pondok pesantren.
Sedangkan secara lebih
rinci, tentang asal muasal pesantren melahirkan beberapa teori (Qomar, TT:9),
yaitu :
1. Teori pertama, menyebutkan bahwa pondok
pesantren merupakan bentuk tiruan atau adaptasi terhadap pendidikan Hindu dan
Budha sebelum Islam datang di Indonesia.
2. Teori kedua, mengklaim bahwa pesantren berasal
dari India.
3. Teori ketiga, menyatakan bahwa pondok
pesantren ditemukan di Baghdad.
4. Teori keempat, melaporkan bahwa
pesantren bersumber dari perpaduan Hindu-Budha (pra-Muslim di Indonesia) dan
India.
5. Teori kelima, mengungkapkan pesantren
bersumber dari kebudayaan Hindu-Budha dan Arab
6. Teori keenam, menegaskan dari India dan
orang Islam Indonesia.
7. Teori ketujuh, menilai dari india,
timur tengah dan tradisi lokal yang lebih tua.
Berkaitan dengan siapa
pendiri pesantren pertama kali, Mujamil Qomar (TT:8) menguraikannya sebagai
berikut:
“ Dikalangan
ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat dalam menyebutkan pendiri pesantren
pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, yang
dikenal dengan Syaikh Maghribi, dari
Gujarat, India, sebagai pendiri/pencipta pondok pesantren yang pertama di jawa.
Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau raden rahmat sebagai
pendiri pesantren pertama di Kembang Kuning Surabaya. Bahkan kyai Machrus Aly
menginformasikan bahwa di samping Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, ada
ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatulloh) di Cirebon
sebagai pendiri pesantren pertama, sewaktu mengasingkan diri bersama
pengikutnya dalam khalwat, beribadah secara istiqomah untuk bertaqaarub kepada
Allah.”
Walaupun terdapat perbedaan, namun tidak bisa dipungkiri
bahwa sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sejak
kurun kerajaan Islam pertama di Aceh dalam abad-abad pertama Hijriyah, kemudian
di kurun Wali Songo sampai permulaan abad 20 banyak para wali dan ulama yang
menjadi cikal-bakal desa baru. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di
Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik Jawa
Timur), Spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa
dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa.
Dalam sejarah perjuangan mengusir penjajahan di Indonesia,
pondok pesantren banyak memberi andil dalam bidang pendidikan untuk memajukan
dan mencerdaskan rakyat Indonesia. Perjuangan ini dimulai oleh Pangeran Sabrang
Lor (Patih Unus), Trenggono, Fatahillah (jaman kerajaan Demak) yang berjuang
mengusir Portugis (abad ke 15), diteruskan masa Cik Ditiro, Imam Bonjol,
Hasanuddin, Pangeran Antasari, Pangeran Diponegoro, dan lain-lain sampai pada
masa revolusi fisik tahun 1945.
Pada masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi, pondok pesantren
pun banyak memberikan andil, baik berupa pencerahan bagi masyarakat secara
umumnya maupun lulusan-lulusan pesantren yang berkiprah dan berperan besar
terhadap perubahan-perubahan di Indonesia
Pesantren, juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai
organisasi masyarakat (Ormas) Islam serta berbagai yayasan-yayasan Islam yang
menjadi nahkoda penyelenggaraan pesantren-pesantren di hampir seluruh
Indonesia, seperti NU, Muhamadiyyah, PERSIS, Al Wahilah Al Irssyad, serta yang
lainnya.
Perjalanan pesantren
yang telah melewati berbagai perubahan jaman, telah melahirkan perkembangan
pola pesantren terutama pola fisik pesantren, seperti hasil penelitian LP3S Jakarta
(Nawawi, 2006:2), sebagai berikut:
1. Pondok
pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah Kiai. Pondok pesantren seperti
ini masih bersifat sederhana sekali, di mana Kiai masih mempergunakannya untuk
tempat mengajar, kemudian santri hanya datang dari daerah sekitar pesantren itu
sendiri.
2. Pondok
pesantren selain masjid dan rumah Kiai, juga telah memiliki pondok atau asrama
tempat menginap para santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh.
3. Pola
keempat ini, di samping memiliki kedua pola tersebut di atas dengan sistem weton
dan sorogan, pondok pesantren ini telah menyelenggarakan sistem
pendidikan formal seperti madrasah
4. Pola ini
selain memiliki pola-pola tersebut di atas, juga telah memiliki tempat untuk
pendidikan ketrampilan, seperti peternakan, perkebunan dan lain-lain.
5. Dalam
pola ini, di samping memiliki pola keempat tersebut, juga terdapat
bangunan-bangunan seperti: perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor
administrasi, toko, dan lain sebagainya. Pondok pesantren tersebut telah
berkembang atau bisa juga disebut pondok pesantren pembangunan.
Mengenai pola-pola
diatas, Haidar Putra daulay (Rosyidin, 2009:160), merincinya sebagai berikut:
Pola 1
Masjid, Rumah Kyai
|
Pesantren ini masih bersifat
sederhana, dimana kyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat
mengajar. Dalam pola ini, santri hanya datang dari daerah pesantren itu
sendiri, namun mereka telah mempelajari ilmu agama secara kontinyu dan
sistematis.
Metode pengajarannya : Wetonan
dan sorogan
|
Pola 2.
Masjid, rumah Kyai, pondok
|
Dalam pola ini, pesantren
telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri yang
datang dari daerah.
Metode pengajarannya : Wetonan
dan sorogan
|
Pola 3
Masjid, rumah kyai, pondok, madrasah
|
Pesantren ini telah memakai
sistem klasikal, dimana santri yang mondok mendapat pendidikan di madrasah.
Adakalanya murid madrasah itu datang dari daerah sekitar pesantren itu
sendiri. Disamping sistem klasikal pengajaran
sistem wetonan dilakukan juga oleh kyai
|
Pola 4
Masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan
|
Dalam pola ini, disamping
memiliki madrasah juga memililki tempat-tempat keterampilan, misalnya
peternakan, pertanian, kerajinan tangan, toko koperasi dan sebagainya.
|
Pola 5
Masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan,
universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga, sekolah umum
|
Dalam pola ini, pesantren
sudah berkembang dan bisa digolongkan pesantren mandiri. Pesantren seperti
ini, telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor
adminsitrasi, toko, rumah penginapan tamu, ruang operation room, dsb. Di
samping itu, pesantren ini mengelola SMP, SMA dan kejuruan lainnya.
|
Unsur atau elemen
pesantren, secara umum harus terdiri dari:
1. Kyai, merupakan gelar yang diberikan
oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi
pimpinan pondok dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Kyai ini
merupakan elemen yang paling penting dari suatu pesantren.
2. Santri
Memiliki dua makna,
yaitu murid yang belajar ilmu agama Islam di pondok pesantren yang datang dari
jauh maupuh dekat, serta bermakna sebagai gelar bagi orang-orang sholeh dalam
agam Islam.
Santri merupakan
elemen esensial dari pesantren. Secara umum, santri dibedakan menjadi:
a. Santri mukim, murid-murid yang
berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam pesantren.
b. Santri kalong, murid-murid yang berasal
dari desa sekelilingnya, yang biasanya mereka tidak tinggal di pondok, kecuali
kalau waktu-waktu belajar (sekolah dan mengaji) saja.
3. Pondok/asrama
Tempat-tempat
pemukiman santri di pesantren. Yang biasanya berupa rumah-rumah kecil atau
kamar-kamar dekat masjid dan di sekeliling kediaman kyai, sehingga memungkinkan
diberlakukannya disiplin santri karena mereka berdiam di dalam pondok (asrama).
4. Proses pengajaran
5. Masjid merupakan elemen yang tidak
dapat dipisahkan dari pesantren, bahkan sebagai tempat yang paling tepat
(strategis) untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sholat liwa
waktu selalu berjamaah, khutbah dalam sholat jumat dan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik.
6. Tradisi pesantren
Salah satu faktor
penyebab keberhasilan pesantren dalam membina para santri adalah karena
pesantren sangat menekankan pendidikan mental dan jiwa para santrinya, yang
kemudian hal ini menjadi tradisi dari sebuah pesantren. Tradisi yang terkenal
disebut dengan panca jiwa pondok pesantren, yaitu:
a. Jiwa keikhlasan
b. Jiwa kesadaran
c. Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri
d. Jiwa Ukhuwwah isllamiyyah
e. Jiwa bebas.
Seiring dengan
perkembangan pesantren dari masa kemasa, maka melahirkan berbagai kategori atau
pembagian pesantren berdasarkan berbagai hal.
Berdasarkan
kurikulumnya, Arifin (Qomar, TT:16) menggolongkan pesantren menjadi 3, yaitu:
1. Pesantren modern
2. Pesantren tahassus (tahassus ilmu alat,
ilmu fiqh/ushul fiqh, ilmu tafsir/hadits, ilmu tasawuf/tarekat dan qiraat al
qur an)
3. Pesantren campuran (moderen dan
tahassus)
Jika
dipandang berdasar muatan kurikulumnya, Martin Van Bruinessen (Qomar, TT:16)
mengelompokkan pesantren menjadi:
1. Pesantren paling sederhana, yang hanya
mengajarkan cara membaca huruf arab dan menghafal beberapa bagian atau seluruh
Al Qur an.
2. Pesantren sedang, yang mengajarkan
berbagai kitab fiqh, ilmu aqidah, tata bahasa arab (nahwu sharaf), terkadang
amalam sufi.
3. Pesantren paling maju, mengajarkan
kitab-kitab fiqh, aqidah dan tasawuf yang lebih mendalam dan beberapa mata
pelajaran tradisional lainnya.
Sementara
itu, Zamakhsyari Dhofier (1982:41)
mengelompokkan pesantren dalam 2 kelompok besar, yaitu :
1. Pesantren salafi, yaitu
pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran-pengajaran kitab-kitab Islam
klasik sebagai inti pendidikan di pesantren.
Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai
dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
2. Pesantren khalafi, yaitu
pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang
dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan
pesantren.
Jika
dilihat dari jumlah santri, maka pesantren dibedakan menjadi:
1. Pesantren kecil, biasanya jumlah
santrinya dubawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten.
2. Pesantren menengah, biasanya mempunyai
santri antara 1000 – 2000 anak santri dan memiliki pengaruh dan menarik santri
dari beberapa kabupaten.
3. Pesantren besar, biasanya santrinya
berjumlah antara 2000 santri ke atas, yang berasal dari berbagai kabupaten dan
provinsi, bahkan beberapa pesantren memiliki popularitas yang dapat menarik
santri-santri dari seluruh pelosok Indonesia.
Berdasarkan
sistem pendidikan yang dikembangkan, pesantren dikelompokkan menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Kelompok pertama, memiliki santri yang
belajar dan tinggal bersama kyai, kurikulum tergantung kyai dan pengajaran
secara individual.
2. Kelompok kedua, memiliki madrasah,
kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kyai memberikan pelajaran
secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk
mempelajari pengetahuan agama dan umum.
3. Kelompok ketiga, hanya berupa asrama,
santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama di
luar, kyai sebagai pengawas dan pembina mental.
Berdasarkan
kelembagaan yang dikaitkan dengan sistem pengajaran, Ahmad Qadri Abdillah Azizy
(Qomar, TT:17) membagi pesantren menjadi lima kategori, yaitu:
1. Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya
memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum.
2. Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski
tidak menerapkan kurikulum nasional.
3. Pesantren yang hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyyah.
4. Pesantren yang hanya sekedar menjadi
tempat pengajian (majlis ta’lim).
5. Pesantren untuk asrama anak-anak yang
belajarnya di sekolah umum dan mahasiswa.
Sedangkan, berdasarkan
proses transformasi, Dedeng Rosyidin (2009:159) membedakan pesantren menjadi
tiga corak, yaitu:
1. Pesantren tradisional, pesantren yang
masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya, dalam arti tidak
mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya.
2. Pesantren tradisional moderen,
pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen, tetapi tidak
sepenuhnya. Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisionalnya masih
terpelihara. Manajemen dan administrasi sudah mulai ditata secara modern.
Alumni pesantren corak ini cenderung melanjutkan pendidikannya ke sekolah atau
perguruan tinggi formal.
3. Pesantren moderen, pesantren ini telah
mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya
maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah
sepenuhnya menganut sistem moderen. Pengembangan minat dan bakat sangat
diperhatikan sehingga para santri dapat
menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran
dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan
bahasa asing (arab dan inggris) sangat ditekankan.
Sistem pendidikan pesantren mengalami perubahan seiring
dengan perubahan pola dan katregorisasi pesantren. Seperti yang sudah dibahas
sebelunya, kategori-kategori pesantren salah satunya ditentukan dengan sistem
pendidikan yang dijalankan.
Secara umum, dalam memberlakukan sistem pendidikan, pesantren
terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Pesantren
dengan sistem pendidikan independen, pesantren seperti ini adalah pesantren
yang tetap memegang teguh sistem pendidikan yang mereka anut tanpa dipengaruhi
oleh berbagai perubahan yang terjadi di dunia pendidikan.
2. Pesantren
dengan sistem pendidikan yang adaptif, pesantren seperti ini adalah pesantren
yang mengakomodasi berbagai perubahan berbagai perubahan dalam dunia pendidikan
dan diasimilasikan serta di sinergikan dengan sistem pendidikan yang dianut
pesantren.
Secara sederhana, kategori pesantren dibedakan menjadi pesantren
tradisional dan pesantren moderen. Berikut ini perbedaan berbagai komponennya
termasuk sistem pendidikannnya menurut S. Yunanto (Dedeng
Rosyidin, 2009:162), yaitu:
Komponen
|
Pesantren
Moderen
|
Pesantren
Tradisional
|
Karakteristik dasar
|
Terbuka terhadap perubahan
dunia, menerima inovasi dan mampu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi
|
Tertutup terhadap perubahan,
cenderung mencurigai inovasi sebagai suati yang mengancam
|
Peran kyai/ustad
|
Dominan proporsional
|
Dominan mutlak
|
Kurikulum
|
Mempunyai kurikulum standar
pesantren, mengadopsi kurikulum pemerintah (depag/dinas)
|
Hanya kurikulum standar
pesantren
|
Sarana dan prasarana
|
Tersedia ruang pengajaran
sistem kelas, biasanya didukung tersedianya sarana dan prasarana lain seperti
koperasi, sarana kesehatan, perpustakaan, sarana olah raga, dll.
|
Sistem pengajaran masih
bersifat tradisional/tidak terbagi dalam ruangan kelas. Sarana dan prasarana
lain yang menunjang sangat minim, beberapa pesantren tidak mempunyainya
|
Sumber keuangan
|
Iuran/bantuan pemerintah /
donatur
|
Iuaran/bantuan pemerintan
|
Orientasi
|
Adaptif
|
Kurang adaptif.
|
Komponen yang paling penting dalam sistem pendidikan adalah
kurikulum. Pada sebuah lembaga pendidikan, kurikulum merupakan salah satu komponen utama yang digunakan sebagai acuan
untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan,
tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan. Menurut Iskandar W
(Nawawi, 2006:5), kurikulum merupakan program pendidikan sekolah yang
disediakan untuk siswa.
Kurikulum pesantren dalam hal ini pesantren “salaf” yang
statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal, hanya mempelajari agama,
bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir,
Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan
Tajwid), Mantiq, dan Akhlak, yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam
3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2) kitab menengah, 3) kitab
besar.
Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan
tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab,
jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut. Setiap kitab
bidang studi memiliki tingkat kemudahan dan kompleksitas pembahasan
masing-masing, sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada
pesantren juga berbeda dengan evaluasi dari madrasah dan sekolah umum.
Sedangkan kurikulum untuk pesantren khalaf, atau pesantren
yang mengadopsi jenis madrasah dan sekolah umum bersifat formal, maka,
kurikulumnya mengikuti ketentuan pemerintah, yaittu madrasah mengikuti
ketentuan dari Departemen Agama, dengan menggunakan perbandingan 30% berisi
mata pelajaran agama, dan 70% berisi mata pelajaran umum. Namun, bagi pesantren,
pembobotan tersebut berubah menjadi 20% berisi mata pelajaran umum, dan 80%
berisi mata pelajaran agama.
Tetapi, pada umumnya masing-masing pesantren menyesuaikan
kurikulum-kurikulum yang datang dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan
Nasional tersebut menurut kepentingan dan keyakinan masing-masing.
Karakteristik kurikulum dalam pesantren yang terfokus pada
ilmu agama seperti di atas, tidak lepas dari tujuan pondok pesantren itu
sendiri.
Adapun tujuan pondok pesantren dibagi menjadi dua bagian
(Nawawi, 2006:6), sebagai berikut.
1. Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang
berkepribadian Islami yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh
Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2. Tujuan
khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu
agama yang diajarkan oleh Kiai yang bersangkutan, serta mengamalkannya dalam
masyarakat.
Sedangkan berdasarkan
Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren di Jakarta
pada tanggal 2-6 Mei 1978 (Qomar, TT:6), tentang tujuan umum dan tujuan khusus
pesantren, diuraikan sebagai berikut:
Tujuan umum pesantren adalah
membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran
agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan
tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang
yang berguna bagi agama, masyarakat dan negara.
Sedangkan tujuan khusus
pesantren, adalah:
1.
Mendidik siswa/santri anggota
masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT.,
berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin
sebagai warga negara yang berpancasila.
2. Mendidik
siswa/santri untuk menjadi manusia muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh
yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam
secara utuh dan dinamis.
3. Mendidik
siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan
agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan negara.
4. Mendidik
tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro
(keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya)
5. Mendidik
siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor
pembangunan, khususnya pembangunan menatal-spiritual.
6.
Mendidik siswa/santri untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha
pembangunan masyarakat bangsa.
Dewasa ini, kalangan
pesantren (termasuk pesantren salaf) mulai menerapkan sistem madrasati.
Kelas-kelas dibentuk secara berjenjang dengan tetap memakai kurikulum dan
materi pelajaran dari kitab-kitab kuning, dilengkapi pelatihan ketrampilan
seperti menjahit, mengetik, dan bertukang. Sistem ini kurikulumnya masih sangat
umum tidak secara jelas dan terperinci. Tetapi, yang jelas semua pelajaran
tersebut telah mencakup segala aspek kebutuhan santri dalam sehari semalam.
Kurikulum yang berkaitan dengan materi pengajian berkisar pada ilmu-ilmu agama
dengan segala bidangnya seperti disebut sebelumnya. Kendati demikian, tidak
berarti ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di pesantren-pesantren sama dan
seragam. Pada umumnya, setiap pesantren mempunyai penekanan atau ciri
tersendiri dalam hal-hal ilmu yang diberikan. Oleh karena itu, sulit bahkan
mustahil menyamaratakan sistem dan kurikulum pesantren seperti yang pernah
diusulkan.
Dalam sistem pendidikan
pesantren, Salah satu ciri tradisi pesantren yang masih kuat dipertahankan di
sebagian besar pesantren adalah pengajian kitab salaf. Kitab salaf yang lebih
dikenal di kalangan luar pesantren dengan sebutan kitab kuning, merupakan
kitab-kitab yang disusun para sarjana Islam abad pertengahan. Kitab-kitab
tersebut dalam konteks penyusunan dan awal penyebarluasannya merupakan karya
intelektual yang tidak ternilai harganya, dan hanya mungkin disusun oleh ulama jenius
dalam tradisi keilmuan dan kebudayaan yang tinggi pada jamannya.
Isi yang disajikan kitab
kuning hampir selalu terdiri dari dua komponen, yaitu:
1.
Matan
2.
Syarah
Matan adalah isi inti yang
akan dikupas oleh syarah. Dalam lay out-nya, matan diletakkan di luar garis
segi empat yang mengelilingi syarah. Ciri lain penjilidan kitab-kitab cetakan
lama biasanya dengan sistem korasan (karasan), lembaran-lembarannya dapat
dipisah-pisahkan sehingga lebih memudahkan pembaca untuk menelaahnya.
Apabila kita menengok media
berita surat kabar masa kini adalah menganut sistem korasan. Di kalangan
masyarakat, kedudukan kitab kuning saling melengkapi dengan kedudukan Kiai.
Kitab kuning merupakan kodifikasi nilai-nilai yang dianut masyarakat pesantren,
sementara Kiai adalah personifikasi yang utuh dari sistem yang dianut tadi.
Sistem pendidikan di
pesantren pun memiliki watak mandiri, bila dilihat secara keseluruhan bermula
dari pengajaran sorogan, di mana seorang Kiai mengajar santrinya yang masih
berjumlah sedikit secara bergilir santri per santri. Pada gilirannya murid
mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata sepersis mungkin seperti apa yang
diungkapkan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa agar murid
mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam rangkaian kalimat Arab.
Sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan
secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah
berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Sistem sorogan inilah yang
dianggap fase tersulit dari sistem keseluruhan pengajaran di pesantren karena
di sana menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari
murid itu sendiri.
Pengajian sorogan lalu
diikuti pengajian weton, seorang Kiai duduk di lantai masjid atau beranda
rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks-teks keagamaan dengan
dikerumuni oleh santri-santri yang mendengarkan dan mencatat uraiannya itu.
Pengajian sorogan masih diteruskan dengan memberi wewenang kepada guru-guru
untuk melaksanakannya di bilik masing-masing. Demikian pula lambat laun
pengajian weton diwakilkan kepada pengganti (badal) sehingga Kiai hanya
memberikan pengajian weton dengan teks-teks utama.
Selain kedua metode tersebut,
Mastuhu menyebut hapalan dan halaqah. Dalam perkembangannya sistem madrasah dan
klasikal diterapkan untuk mempermudah proses pembelajaran sebagai pengembangan
dan pembaruan pengajian model sorogan dan weton.
Metode sorogan, diduga sangat
kuat merupakan tradisi pesantren, mengingat sistem pengajaran di pesantren memang
secara keseluruhan. Hal ini lagi-lagi menunjukkan ciri khas tradisionalnya
dengan mempertahankan warisan masa lalu yang cukup jauh. Namun demikian, bukan
berarti hanya metode sorogan saja yang dipergunakan di kalangan pesantren
tradisional, melainkan boleh jadi dipergunakan pula metode yang lain misalnya
weton atau bandongan, bahkan pengajaran klasikal (madrasi). Hanya saja, yang
disebutkan terakhir tidak bisa dibayangkan pelaksanaannya seperti yang berlaku
di madrasah atau sekolah umum karena cukup banyak segi-segi yang membedakannya.
Istilah weton berasal dari
bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini
dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya sesudah mengerjakan shalat
fardlu, dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti para santri. Kemudian
Kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan, sekaligus mengulas kitab-kitab salaf
yang menjadi acuan. Termasuk dalam pengertian weton adalah halaqah.
Sistem sorogan, para santri
maju satu per satu untuk membaca dan menguraikan isi kitab di hadapan guru atau
Kiai.
Selain dua sistem tersebut
(weton, sorogan), pesantren juga kerap menggunakan sistem musyawarah. Model ini
bersifat dialogis sehingga umumnya hanya diikuti oleh santri senior.
Berdasarkan uraian diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren,
terdiri dari beberapa metode, yaitu:
1.
Metode sorogan
2. Metode
weton (bandongan)
3. Metode
hapalan
4. Metode
halaqoh
5. Metode
madrasati/klasikal
6. Metode
musyawarah/dialog
BAB III SIMPULAN
Berdasarkan apa yang diuraikan
pada bab II, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki kekhasan dalam berbagai
komponen yang ada di dalamnya.
2. Sejarah perkembangan pesantren di
Indonesia, dimulai sejak islam ada di indonesia, namun secara kajian ilmiah,
tidak ada kesepakatan terhadap satu konsep atau teori sejarah asal muasal
pesantren di Indonesia.
Pada perkembagannya,
pesantren menjadi bagian yang tidak terpisahkan sari sejarah Indonesia dan
berperan besar terhadap berbagai perubahan di Indonesia dalam setiap fase
sejarahnya
3. Unsur atau elemen pesantren di
Indonesia terdiri dari :
a. Kyai
b. Santri
c. Pondok/asrama
d. Sistem pengajaran
e. Masjid
f.
Tradisi
pesantren
4. Kategorisasi/pembagian pesantren sangat
bergam, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
5. Sistem pendidikan pesantren di
Indonesia secara umum dibedakan menjadi sistem pendidikan independen dan
adaptif, sedangkan kurikulum yang digunakan disesuaikan dengan sistem
pendidikan yang dianut oleh poesantren tesebut. Sedangkan metode/sistem
pengajaran, terdiri dari:
a. Metode
sorogan
b. Metode
weton (bandongan)
c. Metode
hapalan
d. Metode
halaqoh
e. Metode
madrasati/klasikal
f.
Metode musyawarah/dialog
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier,
Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta. PT. Pertja.
Http://id.wikipedia.org/wiki/pesantren/
Imron, D. Zawawi.
(2010). Pendidikan Menghidupkan Nilai
Pesantren, Menggali Nilai-nilai Keadaban (Civic Values) melalui Apresiasi
Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta. Paramadina dan The Asia Foundation.
Nawawi. (2006).
“Sejarah dan Perkembangan Pesantren”. Jurnal Studi Islam dan Budaya Ibda`
| Vol. 4 | No. 1 | Jan-Jun 2006 |4-19 P3M STAIN Purwokerto.
Qomar, Mujamil.
(Tanpa Tahun). Pesantren, dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi. Jakarta. Penerbit Erlangga
Rosyidin, Dedeng.
(2009). Konsep Pendidikan Formal Islam, Ikhtisar Pendidikan Formal Persis
dalam Mencetak Generasi Tafaqquh Fiddin. Bandung. Pustaka Nadwah.
Suismanto. (2004). Menelusuri
Jejak Pesantren. Yogyakarya. Alief Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar