Entri Populer

Senin, 27 Desember 2010

sekularisme


MENELISIK SEKULAR-SEKULARISASI-SEKULARISME:
Resume atas BAB II Buku Islam dan Sekularisme Karya S.M Naquib al-Attas.

Oleh: Heri Mohamad Tohari


Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Bab II ini dengan begitu apik menjelaskan mengenai pemahaman secular-sekularisasi-sekularisme. Bahasanya yang mengalir mirip dengan bahasa tutur santai ini, seakan pejelasannya yang rumit berubah menjadi bahasa diskusi tatap muka. Kita seakan langsung mengobrol dengan beliau. Tanpa terasa pula 47 halaman penjelasan mengenai sekularisme ini akhirnya selesai juga.
Al-Attas mengawali bab ini dengan pengertian secular-sekularisasi-sekularisme secara etimologis dan terminologis. Perkataan secular, yang berasal dari bahasa latin saeculum mengandung suatu makna yang ditandai dengan dua pengertian yaitu waktu dan tempat atau ruang. Secular dalam pengertian waktu merujuk kepada ‘sekarang’ atau ‘kini’, sedangkan dalam pengertian ruang merujuk kepada ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum bermakna ‘zaman kini’ atau ‘masa kini’, dan zaman kini atau masa kini merujuk kepada peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti ‘peristiwa-peristiwa masa kini’. Tekanan makna pada istilah secular adalah diletakkan pada suatu waktu atau masa tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses kesejarahan.
Pengertian ruang waktu (spatio-temporal) yang terkandung dalam konsep secular ini dari sudut sejarah diperoleh dari pengalaman dan kesadaran yang lahir dari adonan tradisi Yunani-Romawi dab tradisi-tradisi Yahudi di dalam Kristen-Barat. ‘Adonan’ dari unsure-unsur pandangan alam (worldview) Hellenik dan Ibrani (Hebrew) yang saling bertentangan, yang dengan sengaja dimasukkan ke dalam agama Kristen, inilah yang kemudian diakui para teolog dan para sarjana Kristen modern sebagai sesuatu yang bermasalah. Bermasalah karena yang pertama memandang eksistensi pada dasarnya sebagai ruang (spatial) dan yang kedua sebagai waktu (temporal). Kekeliruan yang ditimbulkan oleh campuran kedua pandangan alam (worldview) inilah yang menjadi akar permasalahan epistimologis, dan juga seterusnya menjadi akar teologis bagi mereka. Oleh karena dunia pada zaman modern ini semakin difahami dan dianggap secara historis, maka penekanan pada aspek temporal menjadi lebih penting dan membawa makan khusus bagi mereka. Atas alasan inilah mereka berusaha untuk menekankan faham eksistensi berdasarkan pandangan ajaran Ibrani, yang mereka fikir lebih sesuai dengan semangat ‘zaman’, dan mencela pandangan Hellenik sebagai suatu kesalahan besar dan mendasar.
Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia ‘pertama dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya’. Ia adalah “melepaskan bebas dunia ini dari kefahaman mengenai dirinya yang berdasarkan agama dan faham-faham berunsurkan keagamaan, menolak segala pandangan alam (worldview) yang tertutup, menghapuskan semua mitos luar biasa dan symbol-simbol yang dianggap kudus…’membebaskan perjalanan sejarah dari campur tangan nasib’, suatu penemuan manusia bahwa nasib dunia berada di tangannya sendiri. Bahwa ia tidak dapat lagi menyalahkan nasib atau takdir atas apa yang ia lakukan terhadapnya…; yaitu manusia yang mengalihkan perhatiannya dari alam yang lain di luar sana, kepada alam ini dan masa ini.
Sekularisasi tidak hanya meliputi aspek-aspek social dan politik dalam kehidupan manusia, tetapi juga tentunya meliputi aspek kebudayaan, karena sekularisasi bermaksud ‘hilangnya pengaruh agama daripada symbol-simbol integrasi kebudayaan, sekularisasi juga bermakna ‘suatu proses kesejarahan, yang tidak dapat diterbalikkan, dimana masyarakan dan kebudayaan dibebaskan dari bimbingan dan kawalan agama serta pandangan alam (worldview) metafisik yang tertutup., ia merupakan suatu ‘pembangunan yang membebaskan’, dan hasil terakhir dari sekularisasi adalah relativisme kesejarahan.
Al-Attas menghujat Kaum Barat dalam membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Menurut mereka, sekularisasi dalam dalam suatu proses yang berkelanjutan dan terbuka (open-ended), dimana nilai-nilai dan pandangan alam (worldview) secara terus menerus diperbaharui sesuai dengan perubahan sejarah yang ‘berevolusi’, adapun sekularisme, seperti agama, menayangkan pandangan alam yang tertutup dan faham nilai yang mutlak sesuai dengan adanya maksud akhir sejarah yang menentukan hakikat manusia. Maka sekularisme menurut mereka member maksud sebuah ideology. Adapun ideologi sekularisme, seperti proses sekularisari, juga menghilangkan pesona pesona dari alam tabii dan meniadakan kesucian dan kewibawaan agama dari politik, tetapi tidak pernah menghapus kesucian kemutlakan nilai-nilai karena ia membentuk system nilainya sendiri dengan maksud agar dipandang sebagai mutlak dan tidak berubah. Jadi sekularisme tidak seperti sekularisasi yang menisbikan semua nilai dan menghasilkan keterbukaan dan kebenasan yang perlu bagi tindakan manusia dan untuk sejarah. Atas alas an ini mereka menganggap sekularisme sebagai ancaman terhadap sekularisasi dan mendesak agar ia terus diawasi dan dikekang serta dicegah agara tidak menjadi ideology Negara.
Bagi al-Attas, teolog-teolog Barat telah membuat perbedaan, yang bagi mereka sangat penting, antara sekularisasi dan sekularisme, di mana sekularisme adalah nama yang merujuk bukan pada suatu proses tapi hasil akhir dari proses sekularisasi ke dalam bentuk tertentu dan khusus, yaitu suatu ideology. Mereka juga mengatakan bahwa setiap isme adalah ideology. Sudah tentu ini tergantung dari bagaimana istilah ‘ideologi’ itu difahami dan kepada kata apa isme itu menjadi akhiran. Pada kasus pertama, jika ideology dimaksudkan sebagai seperangkat ide-ide umum, atau program filsafat yang terlepas dari penafsiran dan pelaksanaannya sebagai sebuah pandangan alam (worldview) dari suatu Negara, maka demikianlah sekularisasi seperti yang mereka fahami, yaitu suatu ideology; perbedaannya dalah bahwa pandangan alam (worldview) yang satu adalah tertutup sedangkan yang lain adalah terbuka. Tetapi jika ideology dimaksudkan sebagai seperangkat ide-ide umum atau program filsafat yang terjelma seperti pandangan alam resmi dari suatu Negara, maka sekularisasi seperti yang mereka fahami ini adalah juga tidak terlepas dari suatu bentuk ideology. Hal ini disebabkan mereka menggambarkan sekularisasi tidak semata-mata sebagai suatu proses sejarah yang di dalamnya manusia terlibat secara pasif, tetapi manusia terlibat secara aktif dalam menciptakan prose situ. Sehingga manusia dalam setiap generasi menyusun suatu program filsafat yang menayangkan pandangan alam yang secara resmi diterima oleh suatu Negara, meskipun pandangan alam (worldview) tersebut terhasil dalam bentuk relativisme secular. Sehingga, sebagaimana yang mereka fahami, sekularisasi tidak berbeda dengan sekularisasionis (secularizationism).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar